Senin, 21 September 2015

Perjalanan Panjang Menuju Dogiyai, Deiyai, dan Paniai

Hujan di subuh ini sempat membuatku ingin menarik kembali selimut dan lanjut tidur. Namun, mengingat perjalanan ini akan sangat panjang dan melelahkan, ku putuskan untuk beranjak dari pembaringan. Setelah semua persiapan pagi hari beres, kami memulai petualangan tepat pukul 6.00 WIT. 

Sejam pertama perjalanan begitu sangat menyenangkan sekaligus mencengangkan. Menyenangkan karena ini kali pertama melakukan perjalanan ke daerah pedalaman yang jauh dan mencengangkan karena terdengar kabar bahwa beberapa minggu lalu sempat terjadi perampasan senjata pasukan militer oleh masyarakat sipil pemberontak dan lari bersembunyi di sepanjang hutan. Kami mencoba menghiraukan perasaan cemas tersebut sembari memutar lagu atau ngalor-ngidul soal provinsi ini.

Rasa mual mulai menyerang. Jalan berkelok-kelok ditambah sarapan pagi berupa roti dan teh manis yang kurang membuat perut seolah-olah digoncang dan ingin dimuntahkan. Untuk menghilangkan rasa mual ini, sesekali membuka kaca agar angin segar masuk tapi bila lama-lama jadi kedinginan. Lalu, aku coba lagi cara lain dengan makan permen kopi supaya aroma kopi bikin semangat. Setelah beberapa permen kopi habis, rasa mual pun kembali lagi. Alamak, ada cara lain lagikah? Ah, menengadahkan kepala ke atas supaya rasa mual berkurang. Kegiatan ini berulang-ulang terus dilakukan sambil berusaha membalas pembicaraan di dalam mobil walaupun hanya ala kadarnya.

Sampailah kami di kilometer 100 yang terkenal dengan beberapa rumah makan. Ya, semoga makan yang berkuah panas dapat mengobati rasa mualku ini. Entah mengapa baru kali ini mabuk darat ini menyerang. Beberapa pengalaman perjalanan jauh di Pulau Jawa dapat ku lewati dengan baik meski menempuh waktu berjam-jam. Ku putuskan untuk menikmati nasi coto dan teh manis panas. Setelah makan, seorang teman menyarankan untuk minum obat anti mabuk dan aku pun mengambil satu tablet.


Ternyata benar, selang setengah jam dari makan pagi, rasa mual hilang dan semoga sisa perjalanan ke depan lebih baik dari sebelumnya.  Teringat harga makanan di tempat makan yang kami singgahi tadi, harganya tidak jauh berbeda dengan harga makanan di Kabupaten dan Kota Jayapura padahal lokasinya di pedalaman!! Sebenarnya, kalau dipikir rumah makan ini layak mengambil harga lebih mahal namun buat para pelintas, murahnya harga ini menjadi penyemangat setelah menempuh berkilo-kilo perjalanan.    

Supir yang mobilnya kami gunakan bernama Pak Dawuh. Beliau sangat terampil mengendarai mobil bertenaga diesel 2500 cc ini meskipun medan yang dilalui sangat berat. Ada kalanya kami menjumpai jalan berbatu-batu besar, berlubang, bahkan licin sehingga membuat ban mobil slip atau tergelincir sedikit ke kanan atau ke kiri. Tidak hanya itu, beliau juga fasih menceritakan kejadian yang pernah terjadi di daerah ini dan bahkan kenal baik dengan wilayah yang dilalui. Sungguh “tra kosong” kata orang Papua.

Setelah menempuh 280 Km perjalanan, sampailah kami di Kabupaten Paniai. Lokasi yang kami kunjungi pertama adalah Kantor Dinas Pekerjaan Umum. Seorang bapak tampak mengenakan topi kuning bertuliskan Kementerian Pekerjaan Umum menjadi tanda bahwa kami tiba di tempat yang tepat. Namun, kantor sudah sepi padahal waktu masih menunjukkan pukul 13.00 WIT. Setelah berbincang, kami berinisiatif menawarkan diri untuk menemui dan menjemput pegawai agar kegiatan ini dapat dilaksanakan. Setelah berdiskusi dengan kepala PU di rumahnya, kesepakatannya adalah besok pagi kegiatan baru dapat dilaksanakan. Terbukti! Inilah yang menjadi kendala di pedalaman. Kantor rata-rata sudah sepi bahkan kosong dari pegawai di jam yang seharusnya mereka masih bekerja.


Kondisi ini seakan dianggap maklum dan bukan rahasia umum lagi. Para pegawai dan kepala kantor lebih sering (kalau bukan dikatakan senang) berada di tempat lain yang lebih bermanfaat dibandingkan di kantornya di pedalaman yang belum tentu ada pekerjaan untuk dilakukan. Toh, siapa yang mau memeriksa hingga ke pedalaman? Kesan ini pula yang kami tangkap di kompleks kantor Bupati Deiyai. Areal perkantoran di tempat ini tampak sangat memukau. Arsitektur bangunan gedung dan warna lembut pemerintahan merepresentasikan simbol kebanggaan sebagai kantor pemerintah. Kami coba memeriksa ke dalam kompleks perkantoran ini namun hasilnya sama, kosong. 

  
Mau salahkan siapa? Yang ada bersyukur karena masih ada pegawai yang ‘rela’ bekerja di pedalaman walau tidak serajin atau sedisiplin mereka yang bekerja di perkotaan. Sebenarnya ini adalah autokritik bagi seorang pegawai pemerintahan yang adalah pelayan masyarakat atau abdi negara. Namun, seringkali terbalik, para pegawai seperti bos-nya masyarakat yang harus dilayani. Selepas dari kunjungan kami ke dua kantor tersebut sambil berharap agar kegiatan besok dapat terlaksana sebagaimana rencana yang kami putuskan.

Bersegera kami menuju “katanya” satu-satunya penginapan di Kabupaten Deiyai. Walaupun minim fasilitas, menurut kami penginapan ini lumayan. Di Kabupaten ini belum ada listrik, masyarakat masih mengandalkan mesin genset sebagai sumber listrik. Sepanjang perjalanan, kami dapat melihat bagaimana kendaraan umum di daerah pedalaman menggunakan mobil termasuk kategori mewah di Jawa. Angkutan umum yang dipakai adalah Toyota Innova, Toyota Hilux, beberapa Strada, Pajero, dan Fortuner. Beberapa waktu yang lalu sempat digunakan Bus DAMRI, namun sepi peminat karena masyarakat lebih suka menggunakan berbagai jenis kendaraan tersebut di atas. 

Alangkah indah negeri ini. Tuhan anugerahkan alam untuk kami nikmati dan manusia di dalamnya untuk kami kenal. Selama perjalanan tadi, saya hanya dapat bersyukur untuk jalan raya yang membentang sepanjang ratusan kilometer dan jembatan penghubung untuk membongkar keterisolasian wilayah. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Daerah di depan sana untuk segera membangun terus sumber daya manusia-nya. Rumah Sakit, Puskemas, sekolah, dan bangunan gedung pemerintah telah terbangun. Saat ini dibutuhkan mereka yang mau benar-benar mengabdi untuk menjalankan peran dan tugas masing-masing. Pembangunan di Papua ini membutuhkan biaya sangat tinggi, mengapa tidak membayar tinggi mereka yang benar-benar bekerja sepenuh hati dan diberikan fasilitas serta kemudahan untuk menunjang profesionalisme mereka. Walau susah mencari mereka yang akan benar-benar tinggal di pedalaman. (Sel./15/09/15)

Perjalanan Manis di Kota Jeruk Manis, Kabupaten Nabire

Minggu ini akan menjadi sebuah minggu yang melelahkan, baru beberapa hari lalu kembali dari Wamena, saya harus melanjutkan perjalanan ke daerah. Tim kami menjadi tim dengan jarak perjalanan yang sangat panjang dengan target menyelesaikan beberapa pekerjaan sekaligus. Sepertinya perlu kekuatan ekstra untuk menyelesaikan tugas negara ini hohoho..


Pagi ini, karena waktu check-in terbilang agak siang, saya pun memutuskan untuk menggunakan angkutan umum saja. Memang lebih ribet dari biasanya karena harus tiga kali mengganti angkutan kota untuk mencapai Bandar Udara Sentani yang berjarak kurang lebih 20 Km dari rumah. Beberapa rekan bahkan sudah lama menunggu, setiba di bandara, kami menuju ruang check-in. Ini akan menjadi kali pertama perjalananku ke Kabupaten Nabire!! Sebuah kabupaten yang katanya hampir mirip dengan Kota Jayapura karena geografis alamnya persis berada dekat dengan pantai.




Pesawat yang kami gunakan pun bercirikan mesin ATR dengan baling-baling di sisi sayap kiri dan kanan. Jelas perjalanan ini akan terasa lebih berguncang dibandingkan menggunakan pesawat Boeing. Kurang lebih sejam perjalanan, tepat melewati atas permukaan laut, kami pun mendarat di Bandar Udara Nabire dengan mulus.

Kesan pertama, bandara ini termasuk kecil dan sangat kurang dalam perawatannya. Ini disebabkan oleh proyek pekerjaan renovasi bandara yang masih berlangsung. Bila bukan karena kebelet  ingin buang air kecil, saya memilih untuk menahannya saja. Setelah menunggu beberapa kardus barang dari conveyor, kami mengendarai mobil jemputan yang telah menunggu di parkiran bandara menuju penginapan. Penginapan ini terkesan mirip dengan losmen atau wisma karena lorong panjangnya mirip lorong sebuah rumah sakit.

Untuk lebih mengefesienkan waktu, kami pun menuju Kantor PU untuk melakukan pekerjaan yang sudah kami rancang. Harapan kami meskipun tidak bertemu dengan kepala dinas, kami masih dapat bertemu dengan pegawai terkait di bidangnya sehingga pekerjaan ini dapat tersampaikan dengan baik. Beruntungnya, kami disambut dengan baik walaupun sifat pekerjaan kami ini mendadak dan tembak di tempat. Selama pelatihan, ada beberapa pertanyaan yang belum dapat kami jawab. Pertanyaan-pertanyaan ini selanjutnya kami tampung dulu untuk dibahas di tingkat yang lebih tinggi.

Seusai kegiatan, bersepakat kami menuju Pantai Gedo untuk meninjau langsung pekerjaan desain kawasan yang diharapkan menjadi tempat wisata unggulan di Kabupaten Nabire. Sempat mengabadikan beberapa spot yang menarik, akhirnya kami bergegas menuju penginapan untuk merebahkan badan ini.
 

Malam harinya, bermaksud mencari makan malam, kaki kami berayun mengunjungi kawasan Pantai Nabire. Ternyata, kawasan ini sungguh sangat menarik. Ramai dengan para pengunjung maupun mereka yang mengadu nasib sebagai pedagang. Kawasan ini sangat cocok sebagai tempat rekreasi dan bersosialisasi warga. Sayangnya, banyak lampu penerangan di kawasan ini yang tinggal dudukannya saja. Beberapa tiang lampu pun diganti dengan kayu. Sayang beribu sayang. Apa boleh buat? Jangan dibawa terlalu serius hehe.. Dibawa santai saja sambil menikmati angin pantai malam ini. (Sen./14/09/15)