Hujan di subuh ini sempat membuatku ingin menarik kembali selimut dan lanjut tidur. Namun, mengingat perjalanan ini akan sangat panjang dan melelahkan, ku putuskan untuk beranjak dari pembaringan. Setelah semua persiapan pagi hari beres, kami memulai petualangan tepat pukul 6.00 WIT.
Sejam pertama perjalanan begitu sangat
menyenangkan sekaligus mencengangkan. Menyenangkan karena ini kali pertama
melakukan perjalanan ke daerah pedalaman yang jauh dan mencengangkan karena
terdengar kabar bahwa beberapa minggu lalu sempat terjadi perampasan senjata
pasukan militer oleh masyarakat sipil pemberontak dan lari bersembunyi di
sepanjang hutan. Kami mencoba menghiraukan perasaan cemas tersebut sembari
memutar lagu atau ngalor-ngidul soal provinsi ini.
Rasa mual mulai menyerang. Jalan
berkelok-kelok ditambah sarapan pagi berupa roti dan teh manis yang kurang
membuat perut seolah-olah digoncang dan ingin dimuntahkan. Untuk menghilangkan
rasa mual ini, sesekali membuka kaca agar angin segar masuk tapi bila lama-lama
jadi kedinginan. Lalu, aku coba lagi cara lain dengan makan permen kopi supaya
aroma kopi bikin semangat. Setelah beberapa permen kopi habis, rasa mual pun
kembali lagi. Alamak, ada cara lain lagikah? Ah, menengadahkan kepala ke atas
supaya rasa mual berkurang. Kegiatan ini berulang-ulang terus dilakukan sambil
berusaha membalas pembicaraan di dalam mobil walaupun hanya ala kadarnya.
Sampailah kami di kilometer 100 yang
terkenal dengan beberapa rumah makan. Ya, semoga makan yang berkuah panas dapat
mengobati rasa mualku ini. Entah mengapa baru kali ini mabuk darat ini
menyerang. Beberapa pengalaman perjalanan jauh di Pulau Jawa dapat ku lewati
dengan baik meski menempuh waktu berjam-jam. Ku putuskan untuk menikmati nasi
coto dan teh manis panas. Setelah makan, seorang teman menyarankan untuk minum
obat anti mabuk dan aku pun mengambil satu tablet.
Ternyata benar, selang setengah jam
dari makan pagi, rasa mual hilang dan semoga sisa perjalanan ke depan lebih
baik dari sebelumnya. Teringat harga
makanan di tempat makan yang kami singgahi tadi, harganya tidak jauh berbeda
dengan harga makanan di Kabupaten dan Kota Jayapura padahal lokasinya di
pedalaman!! Sebenarnya, kalau dipikir rumah makan ini layak mengambil harga
lebih mahal namun buat para pelintas, murahnya harga ini menjadi penyemangat
setelah menempuh berkilo-kilo perjalanan.
Supir yang mobilnya kami gunakan
bernama Pak Dawuh. Beliau sangat terampil mengendarai mobil bertenaga diesel 2500
cc ini meskipun medan yang dilalui sangat berat. Ada kalanya kami menjumpai
jalan berbatu-batu besar, berlubang, bahkan licin sehingga membuat ban mobil
slip atau tergelincir sedikit ke kanan atau ke kiri. Tidak hanya itu, beliau
juga fasih menceritakan kejadian yang pernah terjadi di daerah ini dan bahkan
kenal baik dengan wilayah yang dilalui. Sungguh “tra kosong” kata orang Papua.
Setelah menempuh 280 Km perjalanan,
sampailah kami di Kabupaten Paniai. Lokasi yang kami kunjungi pertama adalah
Kantor Dinas Pekerjaan Umum. Seorang bapak tampak mengenakan topi kuning
bertuliskan Kementerian Pekerjaan Umum menjadi tanda bahwa kami tiba di tempat
yang tepat. Namun, kantor sudah sepi padahal waktu masih menunjukkan pukul
13.00 WIT. Setelah berbincang, kami berinisiatif menawarkan diri untuk menemui
dan menjemput pegawai agar kegiatan ini dapat dilaksanakan. Setelah berdiskusi
dengan kepala PU di rumahnya, kesepakatannya adalah besok pagi kegiatan baru
dapat dilaksanakan. Terbukti! Inilah yang menjadi kendala di pedalaman. Kantor rata-rata
sudah sepi bahkan kosong dari pegawai di jam yang seharusnya mereka masih bekerja.
Kondisi ini seakan dianggap maklum dan
bukan rahasia umum lagi. Para pegawai dan kepala kantor lebih sering (kalau
bukan dikatakan senang) berada di tempat lain yang lebih bermanfaat
dibandingkan di kantornya di pedalaman yang belum tentu ada pekerjaan untuk
dilakukan. Toh, siapa yang mau memeriksa hingga ke pedalaman? Kesan ini pula yang
kami tangkap di kompleks kantor Bupati Deiyai. Areal perkantoran di tempat ini tampak
sangat memukau. Arsitektur bangunan gedung dan warna lembut pemerintahan
merepresentasikan simbol kebanggaan sebagai kantor pemerintah. Kami coba
memeriksa ke dalam kompleks perkantoran ini namun hasilnya sama, kosong.
Mau salahkan siapa? Yang ada bersyukur
karena masih ada pegawai yang ‘rela’ bekerja di pedalaman walau tidak serajin
atau sedisiplin mereka yang bekerja di perkotaan. Sebenarnya ini adalah
autokritik bagi seorang pegawai pemerintahan yang adalah pelayan masyarakat
atau abdi negara. Namun, seringkali terbalik, para pegawai seperti bos-nya
masyarakat yang harus dilayani. Selepas dari kunjungan kami ke dua kantor
tersebut sambil berharap agar kegiatan besok dapat terlaksana sebagaimana
rencana yang kami putuskan.
Bersegera kami menuju “katanya”
satu-satunya penginapan di Kabupaten Deiyai. Walaupun minim fasilitas, menurut
kami penginapan ini lumayan. Di Kabupaten ini belum ada listrik, masyarakat
masih mengandalkan mesin genset sebagai sumber listrik. Sepanjang perjalanan,
kami dapat melihat bagaimana kendaraan umum di daerah pedalaman menggunakan
mobil termasuk kategori mewah di Jawa. Angkutan umum yang dipakai adalah Toyota
Innova, Toyota Hilux, beberapa Strada, Pajero, dan Fortuner. Beberapa waktu yang
lalu sempat digunakan Bus DAMRI, namun sepi peminat karena masyarakat lebih
suka menggunakan berbagai jenis kendaraan tersebut di atas.
Alangkah indah negeri ini. Tuhan
anugerahkan alam untuk kami nikmati dan manusia di dalamnya untuk kami kenal.
Selama perjalanan tadi, saya hanya dapat bersyukur untuk jalan raya yang
membentang sepanjang ratusan kilometer dan jembatan penghubung untuk membongkar
keterisolasian wilayah. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Daerah di
depan sana untuk segera membangun terus sumber daya manusia-nya. Rumah Sakit,
Puskemas, sekolah, dan bangunan gedung pemerintah telah terbangun. Saat ini
dibutuhkan mereka yang mau benar-benar mengabdi untuk menjalankan peran dan
tugas masing-masing. Pembangunan di Papua ini membutuhkan biaya sangat tinggi,
mengapa tidak membayar tinggi mereka yang benar-benar bekerja sepenuh hati dan
diberikan fasilitas serta kemudahan untuk menunjang profesionalisme mereka. Walau
susah mencari mereka yang akan benar-benar tinggal di pedalaman. (Sel./15/09/15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar