Minggu, 20 September 2015

Belum ke Papua Kalau Tidak Mampir di Wamena


Pagi ini perjalanan pertama ke Wamena, seumur hidup baru inilah pertama kali ke Wamena. Banyak yang mengatakan, “Belum ke Papua kalau tidak ke Wamena”. Akhirnya kesempatan itu pun datang!! Tidak sabar menunggu saat itu, pagi-pagi dengan diantar orangtua, kami menuju Bandar Udara Sentani. Pukul 5.50 WIT tiba dan langsung menghubungi seseorang yang sudah mempersiapkan tiket pergi-pulang Jayapura-Wamena.


Ternyata eh ternyata, nomornya tidak dapat dihubungi, kurang lebih selama sejam sempat harap-harap cemas dan berusaha mencari cara untuk agar penerbangan kali ini tidak tertunda. Setelah check in pukul 8.00 WIT, Express Air pun berangkat menuju Bandar Udara Wamena, kurang lebih setengah jam perjalanan, saya pun tiba.


Pendaratan yang cukup kasar menjadi sambutan “Selamat Datang” di kota Pegunungan Tengah” Tanah Papua ini. Uniknya, teman sebelah kursi saya terlihat ketakutan saat pesawat mendarat, dia mengatakan saat guncangan terjadi, dia hanya mengaku kepada Tuhan bahwa “Saya belum pernah mencuri”. Luar biasa!!

Tidak berapa lama, Pak Tono dari Bappeda Kabupaten Wamena datang menjemput dan bertolak menuju aula pertemuan tempat kegiatan berlangsung. Walaupun harus menunggu agak lama dan menghubungi pihak-pihak terkait, acara pun dapat dimulai dan berlangsung kurang lebih 3 (tiga) jam dengan baik.


Seusai makan siang, saya menuju penginapan, Baliem Pilamo Hotel untuk bermalam. Setelah beristirahat sejenak melepas lelah, saya pun memutuskan jalan-jalan sore sendiri ke daerah sekitar hotel. Berjalan kaki kurang lebih beberapa kilo, ada beberapa hal yang tidak dapat saya lupakan:
1.   Tukang becak di Wamena pun adalah penduduk asli daerah. Agak tidak biasa memang karena umumnya tukang becak yang ditemui adalah pendatang. Dari informasi yang saya dapat, becak yang digunakan umumnya disewa harian dan mendapat beberapa persen penghasilan sesuai dengan kesepakatan dari pemilik. Sebelumnya sempat juga terjadi perselisihan antara para tukang ojek dan tukang becak akibat memperoleh penumpang. Akhirnya disepakati bahwa untuk daerah dalam kota menjadi area becak sementara ojek diarahkan untuk mengambil penumpang ke arah lebih luar.
2.   Penduduk asli yang saya temui sangat ramah. Mereka suka menyapa dan senyuman lebar yang merekah seakan berbicara bahwa mereka menerima kehadiran saya. 

Saya pun inisiatif untuk mengunjungi Pasar Baru untuk mencari bête (keladi) ungu pesanan orangtua. Konon katanya sangat baik untuk kesehatan terutama yang memiliki masalah dengan penyakit gula. Ongkos angkutan umum di tempat ini memang termasuk mahal kalau boleh dibilang seperti itu. Rata-rata Rp 7.000 – Rp 15.000 untuk sekali jalan. Tapi harap maklum karena memang biaya angkut barang kebutuhan sehari-hari termasuk bahan bakar cukup terkendala geografis.

Beberapa ekor babi besar terlihat berkeliaran bebas di Pasar Baru. Pemandangan yang cukup unik karena sangat jarang terlihat hal demikian di Jayapura apalagi kota-kota besar. Sempat berkeliling beberapa kali, saya memutuskan kembali ke tempat semula dimana tumpukan bête (keladi) ungu lebih banyak dan ukurannya besar-besar. Harganya pun ternyata tidak semahal yang saya kira, Rp 50.000 per tumpuk. Tugas pun tertunaikan.

Waktu menunjukkan pukul 17.15 WIT, hari masih cukup terang, saya ingin sekali berkunjung ke objek daerah tujuan wisata mumi di Kurulu. Mengantri sekitar 10 menit, saya sempat ragu apakah jadi berangkat atau tidak. Kondisi mobil Starwagon (solar) sebenarnya kelihatan cukup tua, muatannya 18 orang, dan terakhir pintunya harus diikat menggunakan karet ban dalam kendaraan. Perjalanan pun dimulai.

Tidak berapa lama kira-kira baru sepuluh menit perjalanan, ternyata benar dugaan saya. Mobilnya mogok!! Kami berhenti kira-kira 50 meter dari kantor Kampung Pikhe. Sementara sang supir pergi mencari solar, saya memutuskan balik pulang ke hotel karena hari pun sudah cukup gelap dan kuatir kalau-kalau tidak ada kendaraan balik dari Kurulu ke kota.

Tiba di hotel rasanya lega dan membayangkan diri saya cukup berani untuk masuk ke daerah yang masih sangat baru. Teringat sewaktu di dalam kendaraan menuju Kurulu, mereka menggunakan bahasa asli yang membuat saya menjadi asing sendiri. Tapi senang rasanya pengalaman perjalanan kali ini tidak sia-sia. Andai saja saya lebih lama di sini mungkin banyak cerita yang bisa saya bagikan.


Keesokan paginya, kami berangkat menuju Bandar Udara Wamena yang sangat sederhana walau sudah terpasang alat pemindai barang (x-ray) saat check-in yang baru terpasang kurang lebih sebulan. Sebelum masuk pesawat, saya hanya berpesan dalam hati bahwa saya akan datang kembali ke tempat ini. Penerbangan ini pun terasa menyenangkan sambil sesekali saya bertukar pikiran dengan teman sebelah. Kadang menyindir, “Mengapa pramugari atau pramugara menekan alat hitung penumpang mereka sebanyak penumpang yang ada? Bukankah lebih cepat menghitung kursi yang kosong dan mengurangkannya dengan jumlah kursi yang seharusnya terisi?” Ya, mungkin sebagian formalitas saja agar terlihat melakukan SOP hehe.. Lalu, terpikir juga bagi kami, melihat seorang bapa yang duduk di depan kanan kami. Ia terlihat sedang termenung sambil asyik melihat sang pramugari cantik memperagakan alat keselamatan. “Kira-kira informasi apa yang beliau dapatkan?” Karena bahasa dan muatan cara yang disampaikan terkesan kebule-bule-an. Saya membayangkan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga penduduk asli yang ikut dalam penerbangan tidak bingung. 

Ah, itu hanya sebagian dari yang ada dalam benak ini. Tidak begitu lama, kami pun sampai di Bandar Udara Sentani. Lama perjalanan bagi seorang perokok sepertinya tidak akan sampai habis sebatang hehe.. Walaupun sebentar namun waktu-waktu di Wamena terasa sangat berharga. God bless you, Wamena!! (Jumat/11/09/2015).     



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar