Pagi ini perjalanan pertama ke Wamena,
seumur hidup baru inilah pertama kali ke Wamena. Banyak yang mengatakan, “Belum
ke Papua kalau tidak ke Wamena”. Akhirnya kesempatan itu pun datang!! Tidak
sabar menunggu saat itu, pagi-pagi dengan diantar orangtua, kami menuju Bandar
Udara Sentani. Pukul 5.50 WIT tiba dan langsung menghubungi seseorang yang
sudah mempersiapkan tiket pergi-pulang Jayapura-Wamena.
Ternyata eh ternyata, nomornya tidak
dapat dihubungi, kurang lebih selama sejam sempat harap-harap cemas dan berusaha
mencari cara untuk agar penerbangan kali ini tidak tertunda. Setelah check in pukul 8.00 WIT, Express Air pun
berangkat menuju Bandar Udara Wamena, kurang lebih setengah jam perjalanan,
saya pun tiba.
Pendaratan yang cukup kasar menjadi
sambutan “Selamat Datang” di kota Pegunungan Tengah” Tanah Papua ini. Uniknya,
teman sebelah kursi saya terlihat ketakutan saat pesawat mendarat, dia
mengatakan saat guncangan terjadi, dia hanya mengaku kepada Tuhan bahwa “Saya
belum pernah mencuri”. Luar biasa!!
Tidak berapa lama, Pak Tono dari
Bappeda Kabupaten Wamena datang menjemput dan bertolak menuju aula pertemuan
tempat kegiatan berlangsung. Walaupun harus menunggu agak lama dan menghubungi
pihak-pihak terkait, acara pun dapat dimulai dan berlangsung kurang lebih 3
(tiga) jam dengan baik.
Seusai makan siang, saya menuju
penginapan, Baliem Pilamo Hotel untuk bermalam. Setelah beristirahat sejenak
melepas lelah, saya pun memutuskan jalan-jalan sore sendiri ke daerah sekitar
hotel. Berjalan kaki kurang lebih beberapa kilo, ada beberapa hal yang tidak
dapat saya lupakan:
1. Tukang becak di Wamena pun adalah
penduduk asli daerah. Agak tidak biasa memang karena umumnya tukang becak yang
ditemui adalah pendatang. Dari informasi yang saya dapat, becak yang digunakan
umumnya disewa harian dan mendapat beberapa persen penghasilan sesuai dengan
kesepakatan dari pemilik. Sebelumnya sempat juga terjadi perselisihan antara
para tukang ojek dan tukang becak akibat memperoleh penumpang. Akhirnya
disepakati bahwa untuk daerah dalam kota menjadi area becak sementara ojek
diarahkan untuk mengambil penumpang ke arah lebih luar.
2. Penduduk asli yang saya temui sangat
ramah. Mereka suka menyapa dan senyuman lebar yang merekah seakan berbicara
bahwa mereka menerima kehadiran saya.
Saya pun inisiatif untuk mengunjungi
Pasar Baru untuk mencari bête (keladi) ungu pesanan orangtua. Konon katanya sangat
baik untuk kesehatan terutama yang memiliki masalah dengan penyakit gula.
Ongkos angkutan umum di tempat ini memang termasuk mahal kalau boleh dibilang
seperti itu. Rata-rata Rp 7.000 – Rp 15.000 untuk sekali jalan. Tapi harap
maklum karena memang biaya angkut barang kebutuhan sehari-hari termasuk bahan
bakar cukup terkendala geografis.
Beberapa ekor babi besar terlihat
berkeliaran bebas di Pasar Baru. Pemandangan yang cukup unik karena sangat
jarang terlihat hal demikian di Jayapura apalagi kota-kota besar. Sempat
berkeliling beberapa kali, saya memutuskan kembali ke tempat semula dimana
tumpukan bête (keladi) ungu lebih banyak dan ukurannya besar-besar. Harganya
pun ternyata tidak semahal yang saya kira, Rp 50.000 per tumpuk. Tugas pun
tertunaikan.
Waktu menunjukkan pukul 17.15 WIT,
hari masih cukup terang, saya ingin sekali berkunjung ke objek daerah tujuan
wisata mumi di Kurulu. Mengantri sekitar 10 menit, saya sempat ragu apakah jadi
berangkat atau tidak. Kondisi mobil Starwagon (solar) sebenarnya kelihatan
cukup tua, muatannya 18 orang, dan terakhir pintunya harus diikat menggunakan
karet ban dalam kendaraan. Perjalanan pun dimulai.
Tidak berapa lama kira-kira baru
sepuluh menit perjalanan, ternyata benar dugaan saya. Mobilnya mogok!! Kami
berhenti kira-kira 50 meter dari kantor Kampung Pikhe. Sementara sang supir
pergi mencari solar, saya memutuskan balik pulang ke hotel karena hari pun
sudah cukup gelap dan kuatir kalau-kalau tidak ada kendaraan balik dari Kurulu
ke kota.
Tiba di hotel rasanya lega dan
membayangkan diri saya cukup berani untuk masuk ke daerah yang masih sangat
baru. Teringat sewaktu di dalam kendaraan menuju Kurulu, mereka menggunakan
bahasa asli yang membuat saya menjadi asing sendiri. Tapi senang rasanya
pengalaman perjalanan kali ini tidak sia-sia. Andai saja saya lebih lama di
sini mungkin banyak cerita yang bisa saya bagikan.
Keesokan paginya, kami berangkat
menuju Bandar Udara Wamena yang sangat sederhana walau sudah terpasang alat
pemindai barang (x-ray) saat check-in yang baru terpasang kurang
lebih sebulan. Sebelum masuk pesawat, saya hanya berpesan dalam hati bahwa saya
akan datang kembali ke tempat ini. Penerbangan ini pun terasa menyenangkan
sambil sesekali saya bertukar pikiran dengan teman sebelah. Kadang menyindir,
“Mengapa pramugari atau pramugara menekan alat hitung penumpang mereka sebanyak
penumpang yang ada? Bukankah lebih cepat menghitung kursi yang kosong dan
mengurangkannya dengan jumlah kursi yang seharusnya terisi?” Ya, mungkin
sebagian formalitas saja agar terlihat melakukan SOP hehe.. Lalu, terpikir juga
bagi kami, melihat seorang bapa yang duduk di depan kanan kami. Ia terlihat
sedang termenung sambil asyik melihat sang pramugari cantik memperagakan alat
keselamatan. “Kira-kira informasi apa yang beliau dapatkan?” Karena bahasa dan
muatan cara yang disampaikan terkesan kebule-bule-an. Saya membayangkan bahasa
yang digunakan disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga penduduk asli yang
ikut dalam penerbangan tidak bingung.
Ah, itu hanya sebagian dari yang ada
dalam benak ini. Tidak begitu lama, kami pun sampai di Bandar Udara Sentani.
Lama perjalanan bagi seorang perokok sepertinya tidak akan sampai habis
sebatang hehe.. Walaupun sebentar namun waktu-waktu di Wamena terasa sangat
berharga. God bless you, Wamena!! (Jumat/11/09/2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar